Di negara barat sana, kenyataan bahwa masih terjadi ketidakseimbangan gender-pun diakui oleh pelaku-pelaku industrinya. Meski banyak musisi perempuan yang berhasil, tapi kadang-kadang pencapaian itu masih dianggap sebagai sebuah keberuntungan, dibanding melihatnya dari sisi kerjakeras.
Tidak ada menyangkal fakta bahwa dunia ini ditandai dengan ketidakseimbangan. Peran gender dikondisikan oleh masyarakat patriarkal dan relatif tidak berubah selama berabad-abad. Hal inilah yang pelan-pelan membuat perempuan melakukan perlawanan dengan caranya sendiri. Pada tahun 1975, Laura Mulvey membuat catatan dalam artikelnya “Visual Pleasure and Narrative Cinema” (Screen Magz). Laura focus pada narasi film-film Hollywood. Ternyata, narasi film-film itupun masih kurang memperhatikan posisi perempuan secara lebih baik. Laura menulis dan memasukkan provokasi bahwa perempuan dalam industri musik atau film pun layak setara.
Sex memang menjual. Fakta ini tak disangkal. Perempuan secara seksual menjadi objektifikasi untuk mempertahankan nilai-nilai patriarkal yang kuat. Gerakan feminis membuat perbaikan besar selama 1960-an. Bagaimana korelasinya dengan industri musik dunia?
Ada banyak penyanyi perempuan hadir di industri musik. Banyak suara yang bagus dan mempertahankan subjektivitas yang kuat di lagu atau konsernya. Seniman seperti Whitney Huston, Aretha Franklin dan Reba McEntire jarang dikritik karena liriknya yang vulgar atau fashionnya yang menonjolkan tubuh. Mengapa? Karena mereka memang tidak perlu vulgar lantaran mereka dihormati dengan bakatnya. Bukan objek seksualitas semata.
Banyak seniman berkualitas [termasuk di Indonesia] menyatakan diri sebagai musisi atau penyanyi yang bagus tanpa “menjual” tubuhnya sebagai pemikat. Ada banyak yang “bersumpah” akan menonjolkan kekuatan suara mereka ketimbang ukuran-ukuran fisik tubuh. Meski kadang-kadang berbenturan dengan produser atau label yang ingin menonjolkan sensualitas. Ini terjadi di Amerika, entah di Indonesia.
Ternyata –termasuk Amerika—sedang terjadi perubahan industrial musik besar-besaran. Alhasil, banyak yang masih menawarkan sensualitas sebagai dagangan di industri musik. Aspek yang ditonjolkan tidak lagi suaranya, tetapi tentang tubuh dan bagaimana ia bisa sesensual mungkin, untuk menarik fans [laki-laki pastinya] dengan harapan mendapat penggemar baru yang mungkin belum tertarik ketika mendengar musiknya di awal.
Pikirkan tentang penyanyi yang awaik-baik saja, kemudian tiba-tiba beralih [atau berulah] ke objek yang sangat menonjolkan seksualitas. Britney Spears, Christina Aguilera, Jessica Simpson, Mariah Carey, Jennifer Lopez, Jewel, Fergie, Jojo, Avril Lavigne dan sebagainya. Siapa yang tidak langsung membayangkan tubuh mereka?
Dalam sebuah biografi singkat tentang Britney Spears di legendvega.com, gagasan tentang seksualitas penyanyi pop wanita difokuskan pada detail: “…Britney adalah kombinasi antara kepolosan dan proyek untuk laki-laki…” — Spears memang penyanyi muda yang kontroversial, tapi apakah dia patut menjadi role model untuk remaja termasuk di Indonesia?
Dunia musik adalah entitas yang sangat sensual dan seks adalah komponen kuncinya. Hal ini tidak dapat disangkal. Tapi pertanyaan baru muncul, apakah kemudian industri musik harus mengeksploitasi seksualitas untuk tujuan rekor penjualan?
Britney masih menjadi contoh negative soal sensualitas musiknya. Menurut Dr Janice Shaw Crouse, direktur Concern Women for America (CWA) mengatakan, “Britney menggambarkan apa yang terjadi ketika kita gagal untuk mengatasi sikap dan praktek-praktek bahaya dari budaya populer“
Disadari atau tidak, para artis di atas adalah model peran bagi perempuan muda di seluruh dunia. Mereka ingin meniru setiap gaya mereka. Mereka begitu terpesona oleh idolanya dan mulai berpakaian seperti mereka. Tidak peduli apakah cocok dengan lingkungannya atau tidak.
Sensualitas memang bukan jualan industri musik. Tapi sensualitas bisa dijadikan “komoditi” untuk mendongkrak nama dan pendapat capital dari industri ini. Hanya, penyanyi atau musisi perempuan dengan “sensualitas doang” biasanya akan cepat dilupakan dan hilang dari pemberitaan wartawan musik. Pilihan kamu? [djoko moernantyo/twitter: @jokoisme]