PEKAN  silam, saya bertemu dengan beberapa band daerah yang merilis album, single, klip atau sekadar menawarkan demo kepada label. Mereka masih muda, semangat, antusias tinggi dan rata-rata punya pengalaman bermusik [di daerahnya] yang tidak sebentar. Ikut festival A, festival B, jadi pembuka band A, pembuka band B.
Yang saya ingat, mereka berasal dari Lampung, Semarang, Pekanbaru, Tanjungpinang, Jogjakarta, Pekalongan, Brebes, dan Cirebon. Kota-kota yang selama ini –kecuali Jogjakarta—jarang tercatat sebagai penghasil musisi yang berkibar di ranah nasional. Kota-kota yang selama ini menjadi “kelas 2” di pentas musik nasional. Kota-kota yang mewakili daerah ‘pinggiran’ yang kerap dianaktirikan.
Sampai akhirnya kita berdiskusi dan saling membuka diri, tentang mengapa daerah mereka susah menembus industri musik level nasional. Mungkin klise dan terdengar seperti keluhan ‘anak daerah’ yang berulang. Tapi ternyata hal itu masih menjadi ‘kerikil’ dari mereka. Dari beberapa hal yang sempat kita bicarakan, saya mencoba memetakannya.
KURANG REFERENSI:
Banyak band daerah yang merasa dirinya kurang referensi musik. Meski era internet ini makin memudahkan banyak band untuk memamerkan karyanya, tapi ternyata referensi mereka biasanya “terlambat” dibanding daerah-daerah sentra musik tanah air, seperti Jakarta, Bandung atau Surabaya. Contoh kasus; ketika band dari luar Jawa merilis album, materi yang dibawa ternyata banyak yang “ketinggalan zaman”. Meski kemudian dipoles oleh music director yang notabene musisi nasional, tapi merombak total biasanya tetap dilakukan.
Kurangnya referensi ini membuat band-band daerah “menggantungkan” diri kepada televisi untuk mendapat gambaran perkembangan musik sekarang. Yang ada, banyak yang terdengar seperti musik “masa-lalu” yang secara trend ketinggalan, aransemen kurang rapi dan materi lemah.
KURANG TRANSFER PENGETAHUAN
Perkembangan musik di Indonesia memang seperti bendungan Situ gintung yang jebol, menjalar kemana-mana. Tiba-tiba semua ingin menjadi pop-star, rock-star, jazz-star, atau dangdut-star. Studio musik menjamur, penjualan alat musik pun meningkat pesat.
Sayangnya, seperti diakui oleh anak-anak daerah itu, pengetahuan tentang studio musik, alat, manajemen artis, membuat lirik dan aransemen yang apik, jadi kendala. Bukannya tidak bisa, tapi mengarahkan yang dimaui dan diterima masyarakat banyak, bukan perkara mudah. Ini kalo kita bicara musik secara industri.
Banyak anak band daerah yang ketika di Jakarta, tiba-tiba mengalami ‘gegar-budaya’ melihat studio yang megah dan sudah digitalize, alat musik yang tombolnya saja membuat mereka bengong dan bingung, dan workshop yang seperti “penindasan” buat mereka.
Mereka hanya belajar dari buku, internet atau clinic singkat dari musisi nasional. Tentu saja tidak cukup. Perlu ada semacam “jembatan” untuk saling berbagi ilmu. Yang daerah tidak malu untuk bertanya, sementara yang pusat, tidak pelit untuk memberikan masukan.
PERLU “PANCINGAN”
Saya lebih suka menyebutnya dengan kunci pembuka. Ketika Sheila on 7 dari Jogjakarta meledak albumnya, berbondong-bondong label, talentscout, berburu band di Jogkajarta. Repotnya, mereka mencari band yang memainkan musik yang sama, imej yang sama, dan cengkok bernyanyi pun kalo perlu sama. Sisi positifnya adalah, banyak anak muda di Jogjakarta kemudian antusias latihan band, siapa tahu “keangkut” di Industri.
Atau Lampung yang makin bergairah ketika Kangan Band sering disebut sebagai wakil dari bumi Ruai Jurai itu. Meski diselingi dengan caci maki dan sumpah serapah, tidak ada yang membantah kalau band inilah yang membuat Lampung mulai dilirik. Baru kemudian bermunculan Hijau daun, Beage, Udara. Pintunya sudah terbuka.
Atau Semarang lewat Blue Savanna misalnya. Meski tak bisa dibilang sukses, masuknya BS ke Jakarta, cukup membuat band-band Semarang berbenah dan mencoba sukses di Jakarta. Menyusul kemudian Romance atau Maximus.
Intinya ‘trigger’ atau ‘tumbal’ atau ‘pancingan’ sebagai penggoda label nasional, sangat penting. Meski secara teknis tak bisa dijelaskan secara matematis soal sukses atau tidaknya band dari daerah. Kita tidak bicara soal musisi personal. Karena banyak nama-nama besar yang lahir di kota-kota ini.
JARAK YANG JAUH
Bandung beruntung punya posisi demografis yang dekat dengan Jakarta. Komunitas musiknya yang kuat, fanatisme yang membara juga memberi ruang nyaman untuk musisi Bandung melejit dibanding daerah lainnya. Rilisan Bandung, cepat diapresiasi oleh anak Jakarta. Begitu pula sebaliknya.
Bagaimana dengan Jogjakarta? Apalagi Pekanbaru, Tanjungpinang atau Brebes? Harus diakui mereka-mereka di daerah harus berjuang lebih keras untuk mendapatkan tempat. Mereka perlu biaya yang lebih besar hanya untuk transportasi. Belum lagi untuk hidup di Jakarta. Meski banyak pula band yang sukses lewat perjuangan berat itu. Contohnya Sheila on 7, yang harus naik kereta dan bus umum untuk sampai ke SonyMusic.
MINDER & RENDAH DIRI 
Ini sebenarnya hal wajar saja. Ketika anak daerah masuk ke ibukota, biasanya ada perasaan minder, rendah diri dan merasa ndeso. Repotnya kalau musisi juga merasakan seperti itu, kemudian merasa “sulit” berkembang, sulit bersaing dan mulai menjadi katak dalam tempurung.
Apalagi kemudian tidak sedikit musisi nasional yang “memandang-rendah” kepada bakat-bakat baru itu. Betul, secara teknis dan wawasan mungkin lebih, tapi terlalu memandang remeh, tentu bukan hal yang tepat jika memang ingin mengembangkan industri musik itu sendiri.
MUSISI YANG BERHASIL, TIDAK PULANG KANDANG
Hal lain yang tidak mendukung perkembangan musik daerah adalah, masih adanya musisi yang ‘kacang lupa kulitnya’. Banyak musisi daerah yang sudah sukses secara karya dan materi, enggan “mampir” ke kampong halamannya untuk melihat dan sedikit berbagi resep kesuksesan.
Seandainya mereka mau memperhatikan bakat di daerahnya, kemudian membantu pengolahan materi dan karya seperti yang sudah mereka alami sebelumnya, niscaya banyak musisi terpendam yang bisa terangkat ke permukaan.
Gengsi? Malu kembali asal? Atau karena sudah jadi star yang biasa dipuja? Kalau memang menemukan musisi, band, penyanyi atau produser yang begitu, lebih baik belikan dia cermin dan minta dia untuk berkaca! [djoko moernantyo/twitter: @jokoisme]