Salah satu agenda penting dibidang musik Indonesia adalah minimnya lagu anak. Seperti diketahui, sejak era-nya penyanyi Tasya, sekitar tahun 1998-2000-an, Indonesia seperti dilanda krisis lagu anak.

Kontes bintang (idol) anak hanya direpresentasikan dengan slogan dan kemasan semata. Lomba yang menampilkan anak bernyanyi seakan menjadi trend dunia hiburan, sementara substansi dan target acara yang ditujukan untuk anak-anak  jauh dari harapan. Betapa tidak, anak-anak yang didandani layaknya orang dewasa dibiarkan menyanyikan lagu untuk orang dewasa, yang kadang syarat dengan syair, cinta, marah dan keputus-asaan.  

Tidak cukup itu, sistem pemenangan sang juara juga tidak ditetapkan berdasarkan kualitas suara yang ditampilkan oleh para kontestan, namun ditentukan berdasarkan perolehan SMS terbanyak dari para penggemar dan simpatisan. Dari model acara yang dibuat, sangat kentara kontes panggung anak dibuat dengan tujuan untuk mendapatkan segambreng iklan dan sponsor yang tentu saja, ujungnya adalah menguntungkan segelintir pihak. Sementara, kondisi dan peta lagu anak tidak mengalami perkembangan, bahkan  bisa dikatakan mengalami degradasi alias mengalami kemelorotan yang signifikan.

Dengan kondisi seperti itu tidak sedikit para orang tua Indonesia merasa khawatir  dengan perkembangan dunia musik yang minim dengan syair dan  pesan yang ditujukan untuk anak-anak. Memang, tidak semua lagu yang dibawakan penyanyi dewasa memiliki syair yang buruk, bahkan ada musisi dan band yang memiliki  beberapa lagu yang memiliki syair  yang bagus dan membangun. Misalkan, Vina Panduwinata, Sheila on 7,Wali,  dan D Massiv.

Menurut sejumlah musisi, produser dan pihak label,lagu anak kurang laku untuk dijual. Apalagi mereka kerap kali "dihantui" dengan maraknya aksi pembajakan. Membuat lagu anak-anak yang bermutu, dan  kemudian marak dibajak, bagi mereka bisa jadi semacam kegiatan kreasi yang sia-sia. Oleh karena itu para musisi lebih asyik menggarap pasar  yang lebih general (remaja dan dewasa), yang lebih terlihat pola dan kekuatan daya belinya.  Kemudian menjadi pertanyaan, apakah lagu anak sudah semakin tidak laku dijual? Banyak jawaban pesimis datang, bahkan dari para musisi dan pencipta lagu.

Sejumlah pihak menawarkan solusi yakni dengan menggandeng pihak sponsor, penyanyi, musisi dan arranger untuk memproduksi lagu anak. Namun, jatuh-jatuhnya,  lagu yang mereka luncurkan merupakan recycle  lagu anak yang sudah pernah ada. Tidak  hanya itu, pola distribusinya juga "dipegang" oleh sponsor yang menerapkan pola untuk konsumennya, dimana mereka yang menjadi konsumen/nasabah baru mendapatkan album tersebut.

Menghadapi krisis lagu untuk anak seperti sekarang ini, menurut hemat penulis adalah dengan  menggandeng banyak pihak. Bukan hanya sponsor, produser dan label namun juga mereka yang mencipta lagu (pencipta), arranger (aransement), musisi dan band-band papan atas yang saat ini banyak digemari oleh anak-anak. Tidak hanya itu, industri musik juga membutuhkan perusahaan komunikasi, yang sanggup memberikan konsep dan  strategi untuk branding dan pemasaran lagu anak-anak tersebut. Tidak ketinggalan, peran media juga sangat dibutuhkan, dalam konteksi ini terutama adalah media televisi (visual) yang bersedia menyediakan slot khusus bagi tayangan  lagu anak-anak dengan pemilihan waktu tayang dan hari yang tepat. Semoga bermanfaat. [lysthano/IT/image: istimewa]