Dwiki Dharmawan memencet tuts korg dari sisi kiri panggung utama depan Museum Fatahillah. Lalu menggebrak alat-alat musik lain, saling menimpali. Khas jazz. Termasuk ketika suara “suling”, kendang dan saling berebut dengan harmoni dan atmosfer etnik ala Krakatau Ethno. Termasuk Dwiki Dharmawan memukul kenong, dan alat musik tabuh lain. Penonton pun bergoyang setelah rehat karena Magrib.

Permainan sekira 14 menit itu menandai Festival Jazz at Kotatua pada malam hari, Sabtu (13/12). Karena sesungguhnya hajatan pertama itu sudah dimulai sejak pagi menjelang siang. Panggung kedua ada di sisi timur menghadap ke barat, depan Museum Senirupa, dengan halaman jembar Kota Tua yang malam itu meriah. “Saya berterima kasih sama Mas Dwiki Dharmawan …,” kata Kepala Museum Bu Sri.

 

Bandaneira, OK
Ita Purnamasari, memencet tuts organ di sisi kiri panggung Timur. Dari tenggorokan penyanyi senior itu pun mengalun, “Cintaku padamu …takkan berubah. Walau ditelan waktu …!”

Rada heran juga lagu pop yang hits dan dibawakan Ita itu. Pasalnya, setelah permainan awal, lebih kental popnya. Baru memasuki reffrain jazznya masuk. Bahkan ketika ia berdiri dan mengajak penonton untuk ikut bernyanyi. Sayang, dua kali reff itu membuatnya ngos-ngosan. Bahkan saya tak terlalu berasa ia sedang ngejazz. (Beda dengan suaminya, Dwiki Dharmawan, pentolan Krakatau yang istiqodah dengan etnik jazznya: mengangkat musikus-kusikus daerah dan lengkap dengan alat tradisionalnya).
 

Dalam kesempatan itu, penyanyi belia, Ivy tampil menarik. Lebih menarik  lagi ketika Bandaneira di panggung yang sama, dengan vokalisnya  yang bernama , Ela,   yang membawakan enam lagu, seluruhnya lagu Indonesia. Di mana ia membuka dengan, “Di sana tempat lahir beta…!” dinyanyikan dengan suara bulat. Lebih-lebih ketika ia mengakhiri Di Bawah Sinar Bulan Purnama, “Si Miskin pun jadi riang gembira.” Termasuk ketika ia menghentak dengan Ilir-ilir, wuih …cengkok Jawanya dapat.

Dewa Bujana tampil di Panggung Utama yang menghadap utara. Ia mengajak Bang Saat dari Kalimantan yang khusus untuk meniup alat tiupnya yang mendatangkan suara khas. Dua lagu diselesaikan dengan aroma fusion yang kental. Sedangkan petikan gitarnya cukup mendominasi, meski ia memberi ruang bagi teman-temannya yang lebih muda – disebut ada yang masih berusia 17 tahun. Ya, masing-masing ber-solo drum, bas atau sulingnya.

Pada penampilan kedua Dwiki Dharmawan – ia kali ini didampingi pemain dari AS, Jepang – tampil rancak. Mengajak 2 orang penyanyi dan tetap istiqomah dengan suasana etniknya. Termasuk ketika Ika Deli membawakan Lamalera, yang disebutkan Dwiki ketika ia naik perahu di wilayah NTT – di mana ada acara perburuan Ikan Paus khas daerah itu. Juga suasana Bali terasa dalam Janger (album tahun 2009-nya).

 

Sisi Lain

Nonton jazz di sebuah tempat khusus atau lain – bukan hall, hotel – terasa ada suasana unik. Apalagi di Kota Tua Jakarta yang memang di lingkungan bangunan-bangunan tua, dan dijadikan tempat wisata jadul. Di mana lapangan tengah yang cukup jembar pada Sabtu-Minggu kerap dijadikan rehat yang nyaman warga. Ada para Manusia patung, sepeda jadul dicat warna-wari, makanan tradisional: kerak telor, tahu genjrot, pecel, batagor, ketoprak dan dengan gelaran lapak-lapak dari plastik. Bahkan ada sponsor atau bekas poster Capres. Meski disayangkan, karena akhirnya gelaran itu membuat penonton kikuk, karena harus melintasi mereka yang ke Kota Tua tidak  sepenuhnya untuk menikmati musik. Duduk-duduk lesehan sambil makan-minum, selfie dan memencet-mencet gadget,  mendominasi lapangan. Mestinya, diatur sedemikian rupa. Sehingga tidak berbaur dan acak-acakan.

 

Penulis yang sehabis Magrib, sebelum Dwiki membawakan Ondel-ondel, makan pecel dengan harga bersahabat, yakni sepuluh ribu rupiah persis di depan Museum Wayang, sisi barat arena Museum Fatahillah yang sebelah utaranya ada Café Batavia nan terkenal bagi tulis asing. Cukup enak, dengan sambil duduk di dingklik plastik bersama seorang wanita cantik di sisi kiri – persis di depan dagangan di atas baskom: terpapar sayuran kangkung, kol, tauge disiram bumbu kacang yang sudah dicairkan.
 

Diagendakan  
Jazz yang berasal dari New Orlean Paman Sam itu, disebut-sebut pembawa acara sebagai musik eksklusif, dan sekarang sudah bisa dinikmati secara lebih cair, saya setuju. Setidaknya di negeri ini, beberapa waktu lalu sudah didobrak. Meski jazz, sejatinya musik pemberontakan jiwa kaum kulit gelap di sono. Jika kemudian di Indonesia terjadi modifikasi sedemikian rupa, ada jazz gunungnya Djaduk Ferianto, dan Java Jazz serta Jak-Jazz yang mendatangkan Bob James, Level 42, GRP dengan Lee Ritenour, dengan kerap mendatangkan Phil Perry, si Kulit hitam bertubuh tambun dengan suara melengkingnya serta grup-grup jazz mainstream lainnya, dari dalam negeri ada Indra Lesmana dan senior lainnya semisal Ireng Maulana – yang pernah saya ikuti sejak diadakan di Pantai Ancol, Parkir Timur dua puluh tahunan lalu.

Dan Jazz di Kota Tua yang pertama dengan motornya Dwiki Dharmawan, terasa etniknya. Apalagi dengan menampilkan Bandaneira yang sengaja mengangkat lagu-lagu “Indonesia” dengan menekuknya secara apik. Paling tidak, penonton – yang saya lihat tak terlalu bergoyang – masih belum ngeh dengan musik jenis ini. Bila ada Ela dan Bandaneiranya dan mengusung lagu-lagu yang sudah akrab, adalah sebuah pendekatan yang bagus. Dwiki, apalagi. Artinya Jazz di Kota Tua bisa menjadi sebuah acara musik menarik – yang diusahakan tahun 2015 – akan diagendakan. Pun tahun-tahun seterusnya. OK juga.  [Thamrin Sonata/kompasiana]